23 Agustus 2008

Curtain – Tirai (The Last Cases Hercule Poirot)

AGATHA CHRISTIE's BOOKS

PERKARA A. ETHERINGTON
Leonard Etherlington. Punya kebiasaan yang jelek. Pecandu obat bius dan juga pemabuk. Punya sifat yang aneh dan sadis. Istrinya masih muda dan menarik. Nampaknya perempuan itu tidak bisa hidup bahagia dengannya. Etherington ditemukan sudah mati, diduga karena diracuni. Dokter yang memeriksanya merasa tidak puas. Hasil pembedahan mayat menunjukkan bahwa kematiannya disebabkan karena keracunan arsenik. Dirumahnya ditemukan sejumlah racun untuk memusnahkan rumput, tapi sudah didatangkan lama sebelumnya. Nyonya Etherlington ditahan dengan tuduhan membunuh suaminya sendiri. Tak lama sebelum tragedi itu terjadi, Nyonya Etherlington berteman dengan seorang pejabat sipil yang sekarang sudah kembali lagi ke India. Tidak ditemukan tanda-tanda bahwa mereka telah berbuat serong, tapi persahabatan yang mereka galang ternyata cukup akrab. Orang muda itu rupanya sudah bertunangan dan mempunyai rencana untuk kawin dengan seorang gadis yang dulu bertemu dengannya di pelayaran. Timbul keragu-raguan apakah surat yang dikirimkan pemuda itu kepada Nyonya Etherlington dan yang berisikan hal ikhwal pribadinya secara terusterang itu, diterima sesudah atau sebelum kematian suaminya. Nyonya itu sendiri mengakui bahwa surat tersebut diterimanya sebelum peristiwa itu terjadi. Bukti-bukti seakan semua terarah kepadanya, karena tak ada lagi orang yang dapat dicurigai, lagipula unsur kebetulan dalam peristiwa kematian suaminya kedengarannya tak mungkin. Dalam persidangan, masyarakat banyak yang bersimpati kepadanya sewaktu mendengar perlakuan yang kejam dan sadis yang diterimanya dari almarhum suaminya. Hasil keputusan juri ternyata lebih banyak menguntungkan perempuan itu, karena mereka berpendapat bahwa putusan harus dijatuhkan anpa adanya keragu-raguan.
Nyonya Etherlington dinyataakan tidak bersalah. Tapi umum berpendapat bahwa bagaimanapun perempuan itu tetap bersalah. Hidupnya kemudian menjadi susah sampai ia berhutan di sana-sini, dan kawan-kawannya sudah tak mau memperdulikannya lagi, dan sebagainya. Ia kemudian ditemukan sudah mati karena terlalu banyak minum pil tidur, dan ini terjadi dua tahun sesudah persidangan itu. Putusan bahwa ia mati secara kebetulan kemudian ditarik kembali sesudah diadakan pemeriksaan mayat.

...
PERKARA B. SHARPLES
Perawan tua. Cacat. Hidupnya susah, banyak menderita. Ia dirawat oleh saudara sepupunya, Freda Clay. Nona Sharples meninggal karena terlalu banyak meminum morfin. Freda Clay mengakui bahwa kejadian itu diakibatkan oleh kesalahannya sendiri, karena dikatakannya penderitaan bibinya sudah sedemikian dalam, hingga ia tak tega lagi untuk melihatnya dan memberikan dia lebih banyak morfin untuk meringankan sakitnya. Polisi berpendapat perbuatan sepupunya itu merupakan kesengajaan dan bukannya kekeliruan. Tapi mereka berpendapat bahwa bukti-bukti tidak cukup banyak untuk menuntut perkara itu.
...
PERKARA C. RIGGS
Edward Riggs, buruh tani. Mencurigai istrinya bermain serong dengan laki-laki yang indekost di rumah mereka, Ben Craig dan Nyonya Riggs ditemukan mati tertembak. Tembakan terbukti datangnya dari pistol milik Riggs. Riggs menyerahkan diri pada polisi, dan mengatakan kemungkinan dialah yang melakukan penembakan itu, tapi dia sendiri tak bisa mengingatnya. Saat itu pikirannya sedang gelap, katanya. Riggs dijatuhi hukuman mati, tapi kemudian diubah menjadi hukuman kerja paksa untuk seumur hidup.
...
PERKARA D. BRADLEY
Derek Bradley. Mengadakan hubungan gelap dengan seorang gadis. Isdtrinya memergokinya dan kemudian mengancam untuk membunuhnya. Bradley ditemukan mati karena meminum racun potsassium cynaide yang dicampurkan ke dalam gelas birnya. Nyonya Bradley ditahan dan dibawa ke persidangan atas tuduhan membunuh suaminya. Perempuan itu mengaku kalah sewaktu diadakan pemeriksaan ulangan. Kemudian ia dijatuhi hukuman dan digantung.
...
PERKARA E. LITCHFIELD
Matthew Litchfield, tiran tua. Mempunyai empat orang anak gadis yang tak pernah diperbolehkan untuk bergaul dengan orang ataupun membelanjakan uang untuk membeli yang mereka inginkan. Suatu malam sewaktu sedang dalam perjalanan pulang ke rumah, Litchfield diserang di luar pinyu rumahnya sendiri dan kemudian dibunuh dengan sebuah pukulan keras pada kepalanya. Kemudian setelah pemeriksaan polisi, anak gadisnya yang tertua, Margaret mendatangi polisi terdekat dan menyerahkan diri karena mengaku telah membunuh ayahnya sendiri. Menurut pengakuannya, hal itu dilakukannya supaya adik-adiknya yang lebih muda dapat mengecap kehidupan mereka masing-masing sebelum semuanya terlambat. Litchfield meninggalkan harta warisan yang cukup banyal. Margaret Litchfield diputuskan mempunyai penyakit syaraf dan kemudian dimasukkan ke rumah sakit jiwa di Broadmoor, tapi tak lama sesudanya ia meninggal.
...
“Yang kau sodorkan padaku barusan adalah lima perkara pembunuhan yang berbeda-beda. Pembunuhan itu terjadi pada tempat yang berlainan dan pada golongan masyarakat yang berbeda kelas sosialnya. Lagipula, nampaknya tak ada persamaan yang dangkal paad kelima-limanya. Maksudnya, yang satu disebabkan oleh rasa cemburu. Satu lagi seorang istri yang hidupnya tertekan dan ingin selekas mungkin melepaskan idiri dari suaminya. Yang lain menjadikannya uang sebagai motifnya. Yang berikutnya, spt yang kukatakan, pembunuhnya btak mau memetingkan diri sendiri karena tak berusaha untuk melepaskan diri dari hukuman yang dijatuhkan kepada nya. Dan akhirnya, yang kelima, jalas paling kurang ajar dan kemungkinan dikerjakan karena adanya pengaruhi minuman keras” Arthur Hastings.
...
“Nyonya Etherlington misalnya, dinyatakan tidak bersalah. Tapi meskipun begitu, setiap orang bisa memastikan dialah pembunuhnya. Ferda Clay tidak dituduh secara terang-terangan, tapi tak seorangpun pernah memikirkan jalan keluar lainnya bagi pembunuhan itu. Riggs menyatakan bahwa ia tak ingat lagi apakah dia sendiri yang membunuh istri dan pacarnya itu, atau orang lain. Tapi lagi-lagi tak pernah ada pernyataan tentang orang lain yang mungkin melakukan pembunuhan itu. Margaret Litchfield mengaku terus terang dialah yang membunuh ayahnya. Jadi dalam seriap perkara, kau bisa lihat sendiri, Hastings, selalu mesti ada seorang saja yang dicurigai dan tidak ada orang lain” Hercule Poirot.
...
“Justru aku mencoba untuk menyampaikan hal ini kepadamu dengan hari-hati sekali. Lebih baik kuuraikan begini saja. Ada seseorang... panggil saja dia X. Pokoknya dalam melakukan kelima pembunuhan itu, X sama sekali tidak mempunyai motif, tidak untuk kelima-limanya. Dalam salah satu perkara, sejauh yang kuketahui, X memang sedang berada dua ratus mil jauhnya ketika pembunuhan terjadi. X pernah bersahabat erat dengan Etherlington, X pernah tinggal sebentar di desa yang ditinggali Riggs. X pernah berteman dengan Nyonya Bradley. Aku punya foto X dan Freda Clay yang sedang berjalan berduaan di jalan, dan X juga kebetulan berada di dekat rumah Matthew Litchfield tua itu sewaktu dia terbunuh. Apa pendapatmu mengenai semua ini?” Hercule Poirot.

_________

Apa yang dapat disimpulkan dari kelima kasus berbeda yang telah dikumpulkan dan diselidiki oleh Poirot? Hasting mencoba membantu Poirot memecahkan misteri kalima kasus yang sama sekali tak mempunyai hubungan sama sekali itu. Aku sendiri mencoba menebak-nebak bagaimana sebenarnya pembunuh yang diduga Poirot bertanggung jawab atas semua kasus itu melakukan pembunuhan. Semakin dalam aku membaca, semakin yakin aku jika orang-orang itulah yang membunuh. Begitupula peristiwa-peristiwa yang ada di Styles. Semuanya tampak nyata adanya, dan memang begitulah kejadiannya, aku masih belum menyadari bagaimana pembunuhnya melakukan aksinya. Mencoba kembali mengingat peristiwa-peristiwa yang terjadi di Styles. Penembakan Nyonya Luttrell yang dilakukan oleh suaminya sendiri Kolonel Luttrell. Aku telah yakin, sesuatu akan terjadi di antara mereka. Entah siapa yang menjadi pelaku atau menjadi korban. Motif di antara mereka berdua sudah sangat jelas, hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk melakukan kejahatan itu. Dan pada peristiwa itu aku sepenuhnya sadar, pembunuh X, yang dimaksudkan Poirot melakukan pembunuhan dengan cara yang berbeda. X tidak melakukan trik yang rumit untuk membunuh, karena pelakunya adalah orang yang memang mempunyai motif untuk membunuh korbannya. Ternyata benar, X tak mempunyai motif sama sekali dalam membunuh korbannya. Namun bagaimana? Aku sendiri masih belum bisa menemukannya.

Hastings, ia berjanji akan membantu Poirot untuk menjadi mata dan telinga untuk Poirot dan membantu dengan memberikan laporan kepada Poirot tentang apa yang sedang terjadi di Styles. Hal aneh terjadi pada Hastings, ia mempunyai niat membunuh. Dan hal ini sungguh sangat mengejutkan buatku, mungkin hal inilah yang sebenarnya ingin ditunjukkan Poirot. Korbannya bisa siapa saja, begitu juga pelakunya. Namun untung saja, orang yang selalu di samping Hasting adalah Hercule Poirot. Percobaan pembunuhan yang dilakukan Hastings gagal dilakukan. Sejauh ini X gagal menjalankan niatnya. Meskipun telah gagal, namun akhirnya ada juga korban jatuh, Barbara Franklin. Namun ini sebenarnya bagian rencana X yang gagal. Korban sebenarnya adalah John Franklin, suami Barbara. Ia ingin membunuh suaminya agar bisa menjadi janda dan bisa menikah dengan Boyd Carrington. Keinginannya itu membawa maut bagi dirinya sendiri. Sekali lagi, rencana X gagal, walaupun mengakibatkan sebuah kematian lainnya. Hal itu tak pernah menjadi masalah bagi X, ia hanya ingin melihat pembunuhan.

Aku tak tahu apakah aku sependapat dengan Poirot mengenai pembunuh X ini. X melakukan pembunuhan dengan cara yang benar-benar berbeda dengan yang lain. Dan cara itu sebenarnya telah aku ketahui sebelumnya. Aku pernah membaca sebelumnya di sebuah komik detektif. Pembunuhnya mempengaruhi orang tertentu hingga orang itu melakukan pembunuhan terhadap orang yang dibencinya. Namun pelaku dalam komik itu, mempunyai tujuan tertentu melakukan itu. Caranya hampir mirip dengan itu. X memanfaatkan setiap orang yang mempunyai motif untuk membunuh. Sedikit saja X melihat kesempatan itu, maka ia berusaha memupuk agar motif itu berkembang, dan mengakibatkan seseorang melakukan pembunuhan. Hanya saja X tak mempunyai tujuan khusus, ia hanya bergerak karena melihat kesempatan dan ia menikmati setiap reaksi yang timbul karena kelihaiannya memanas-manasi seseorang.


...
“... Dalam setiap perkara ia memainkan peran yang sama. Ia kenal Ertherington, ia menginap selama musim panas di desa tempat Riggs tinggal dan minum-minum dengannya di sebuah bar setempat. Dalam sebuah pelayaran ia bertemu dengan gadis itu, Freda Clay dan kemudian mendorongnya dan memperkuat keyakinannya yang baru terbentuk setengahnya, bahwa sekiranya bibinya yang tua itu mati, maka setidaknya itu akan merupakan suatu hal yang menguntungkan – terlepas dari bibinya dans ekaligus memperoleh kehidupan yang bergelimang harta dan kenikmatan bagi dirinya sendiri. Ia juga kawan keluarga Litchfield, dan waktu berbicara dengannya, Margaret Liychfield melihat dirinya sebagai deorang pahlawan yang membebaskan adik-adiknya dari hukuman penjara seumur hidup. Tapi aku percaya, Hastings, bahwa tak satupun dari orang-orang ini akan mengerjakan apa yang telah mereka kerjakan – tanpa pengaruh Norton...”
...


Mungkin itu sebagian yang menarik dari kasus ini. Cara membunuh yang aman. Dengan begini, tak perlu khawatir orang akan mencurigai X. Dalam hal ini X benar-benar AMAN, ia tak akan pernah sedikitpun tersentuh oleh tangan hukum. Bukti-bukti yang memberatkan X tak akan pernah ditemukan, karena memang X tidak melakukan pembunuhannya secara langsung, ia melakukannya melalui tangan orang lain. Karena hal inilah, Poirot kebingungan untuk mengungkapkan kejahatan X. Namun ia sadar jika X tak dihentikan maka akan banyak lagi kasus-kasus serupa. Inilah hal yang paling mengerikam dari seorang penegak hukum. Poirot tak akan pernah membiarkan pembunuhan terjadi, dengan alasan apapun, ia benar-benar tak menyetujui pembunuhan. Di dalam novel, akan ditemukan tiga kematian. Kematian Barbara Franklin, dianggap sebagai bunuh diri, karena minum racun physostigmine yang menurut kesaksian Poirot telah sengaja diambilnya dari laboratorium suaminya. Kematian Norton, bunuh diri dengan menggunakan pistol, luka tembakan terletak persis di tengah dahinya. Kemudian kematian Hercule Poirot sendiri, karena serangan jantung. Penyakit Arthritis yang diderita Poirot sudah semakin parah, itu diketahui oleh Hastings. Ada apa sebenarnya dibalik ketiga kematian itu?

Aku juga pernah membaca, dan karya Agatha Chrsitie juga judulnya “And There They Were None” judul Indonesianya “Sepuluh Anak Negro”. Mengerikan sekali, bukan pembunuhan-pembunuhan yang ada, tapi pelakunya sendiri. Aku sampai tak percaya, apakah seperti itu? Dan iseng-iseng aku memikirkan, bagaimana jika suatu saat seorang seperti Hercule Poirot melakukan pembunuhan. Dan Agatha Christie menjawab pikiranku. Hercule Poirot akan melakukan sebuah penyelesaian yang sepantasnya untuk dirinya. Dan melalui kejadian-kejadian mengerikan yang terjadi di Styles untuk yang kedua kalinya ini, Agatha menjelaskan semuanya. Poirot membunuh untuk kebenaran. Poirot membunuh karena sudah tak ada jalan lagi untuk menghukum pembunuh seperti X yang tak tersentuh oleh hukum. Hercule Poirot sendirilah yang akan menjatuhi hukuman untuk X, dan sebagai balasan atas tindakannya dia memutuskan untuk menutup tirai kehidupannya. Tak akan ada yang bisa mengira apa yang ada di pikiran seorang detektif seperti Poirot. Pikirannya yang cemerlang itu bisa berjalan untuk mengungkap kejahatan, namun bisa juga untuk merancang sesuatu yang lain yang tak diketahui orang lain, bahkan sahabatnya sendiri. Mungkin yang membuat aku tertampar, dan marah kepada Poirot adalah. Dia telah merencanakan semuanya itu, tertata rapi seperti cerita yang telah disusun berdasarkan bab-bab dan paragraf-paragraf, jauh sebelum dia berada di Styles dalam pengejaran pembunuh X. Berani bayangkan jika, orang hebat seperti Poirot melakukan pembunuhan, sama sekali tak bercela. Semua orang tak akan menduga, begitupun juga Hastings, sahabatnya. Walau sebenarnya Hasting telah merasa aneh dengan luka tembak Norton. Tepat di tengah dahi, luka tembak itu terlalu simetris untuk dilakukan oleh seorang diri yang ingin bunuh diri.

Perlahan Tirai turun. Penonton bersorak memberi tepuk tangan. Kehidupan panggung Hercule Poirot telah berakhir, aku menggelengkan kepala. Ternyata memang bisa, bukan hanya di dalam bayangan saja. Lalu bagaimana dengan kenyataan? Apakah mungkin akan terjadi? Sekali lagi aku diingatkan oleh sebuah ungkapan “Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini..” .end

Cinta Seorang Psikopat

V Lestari's Books

Mandar, bujangan kaya raya, dituduh memperkosa san membunuh belasan perempuan yang berprofesi sebagai pelacur. Ia melakukan demi kesenangan, tapi juga berdalih sekalian membersihkan "sampah". Namun salah satu korbannya, Amarilis, dibiarkan tetap hidup setelah menyadari kekeliruannya bahwa ternyata Amarilis bukan pelacur. Di penjara, Mandar meminta pada Adrian, sepupunya yang mewarisi hartanya jika dieksekusi, untuk terus memantau gadis itu.
Akibat perkosaan itu, Amarilis hamil, tapi dia tak tega menggugurkan kandungannya. Ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang diadopsi orang lain. Ia takut bayi itu mewarisi gen jahat ayahnya, Mandar. Amarilis melewati saat-saat traumatis. Namun berkat kasih sayang keluarganya dan bantuan tanpa pamrih dokter Hilman, psikiater, ia bisa mengatasi saat sulit itu. Bahkan ia jatuh cinta pada Hilman.
Di selnya Mandar kerap membayangkan Amarilis. Diam-diam dia jatuh cinta pada korbannya itu. Ia sampai mencoba melukis gadis itu untuk mengobati kerinduannya. Tapi bukan Cuma dia yang mencintai Amarilis. Adrian pun menyukai gadis itu, bahkan sangat tergila-gila padanya.
Ketika sedang mempersiapkan pernikahannya dengan dokter Hilman, Amarilis mengalami musibah untuk kedua kalinya. Semua yakin, Amarilis tak akan lolos dari maut kali ini, karena semalaman lenyap tanpa berita. Namun ada seseorang yang menolongnya, walaupun untuk itu ia harus mengorbankan nyawanya.

__________

Karya V Lestari yang pertama kali aku baca. Aku jadi lebih banyak belajar.. jadi beginilah novel karya anak bangsa. Padahal sebelumnya aku sudah beberapa kali mambaca novel dalam negri. Pertama kali aku mengenal novel karya Mira W “Melompat dari Jendela SMP”, walau begitu waktu itu aku masih sangat kecil untuk mengerti tentang bahasa dan tentang diri penulis. Aku yang waktu itu, hanya terlibat dalam emosi yang ada di dalam cerita. Tanpa pernah berpikir tentang bagaimana cara menggunakan bahasa, juga tentang hal-hal teknis lainnya. Setelah kini aku ingin belajar, aku biarkan diriku kemasukan novel terjemahan dari luar negri dan mengambil bahan bacaan tentang misteri pembunuhan yang melibatkan kriminalitas, alibi, trik dan motif. Tanpa pernah sekalipun melirik novel lokal yang mungkin akan sangat penting bagiku untuk mengenal bahasa penulis dari bangsaku sendiri. Karena sejujurnya, aku terkagum-kagum pada penulis luar, mereka dapat dengan jelas mendeskripsikan tempat, bahkan tokohnya hingga kita bisa melihatnya sedang memainkan peran dalam cerita itu. Suatu kesempatan membuatku bisa kembali membaca novel dalam negri, dan aku banyak belajar dari situ.

Ternyata tidak perlu bahasa yang rumit untuk menjelaskan suatu persoalan. Cukup dengan menggunakan bahasa sehari-hari, toh tokoh dalam novel itu juga mengalami hari-hari yang sama dengan kita. Suatu jalinan cerita yang urut dan berkaitan memang perlu, dan di saat itulah dibutuhkan kecerdikan penulis untuk menceritakannya kembali dengan gabungan kata, hingga membentuk kalimat-kalimat yang enak dibaca dan terjalin dengan apik, hingga terbentuk suatu paragraf. Mungkin itulah yang masih belum bisa aku lakukan. Itulah yang aku butuhkan, dan sepertinya aku masih harus banyak belajar lagi. Sekalian saja aku jelaskan tentang tokoh-tokoh yang ada di novel Cinta seorang Psikopat ini, keberulan aku sangat tertarik dengan tokoh utama, sang psikopat, Mandar.
Mandar. Tokoh utama, namun jahat. Bagiku dialah tokoh utamanya, walau jahat namun semuanya bermula dari Mandar dan ia juga yang mengakhirinya. Lagipula pada judulpun sudah mengarah pada Mandar. Di dalam cerita, hampir tak ditemukan tokoh yang menyukai Mandar, karena kekejamannya, semuanya memakinya dan bahkan membencinya. Walau ia mempunyai Adrian, satu-satunya orang terdekat Mandar, naman Adrian tak benar-benar menyukai Mandar. Ia hanya berbuat apa yang seharusnya ia lakukan, ditambah ia mendapatkan warisan dari Mandar jadi sudah selayaknya ia membantu Mandar. Walau semua orang menganggapnya iblis, monster (pokoknya yang jelek-jelek) tapi aku mempunyai pandangan sendiri pada Mandar. Aku kagum dengan kepribadian Mandar. Mandar tidak munafik. Dengan berani di mengakui perbuatannya secara gambalng tanpa rasa penyesalan sedikitpun. Tidak pengecut dan tegas, dia tidak berusaha lari (memang ia sempat ingin buron, setelah tau dia punya anak, namun ia toh tak melakukannya) dan ia dengan tegas mengakui telah membunuh 11 orang, dan menolak tuduhan membunuh 12 orang. Karena mayat yang ditemukan di ruang bawah rumahnya berjumlah 12, sedangkan Mandar hanya mengakui ia hanya membunuh 11 orang. Dia juga perasaan melindungi pada Adrian, karena menurutnya semua tindakannya itu dilakukannya sendiri tak melibatkan siapapun. Dan juga beberapa sifat baik lainnya terhadap Adrian (sifatnya yang baik tatkala ia menjadi orang biasa, namun ia akan berubah menjadi pembunuh yang kejam ketika nafsu menguasainya). Dan yang paling menggelitik adalah, dia mempunyai cinta. Cintanya kepada Amarilis dan kepada anaknya. Bagaimanapun juga Mandar adalah tokoh utama, tentu dia punya sesuatu yang unik, hingga pengarangya memilihnya menjadi tokoh utama. Aku merasa si pengarang, sangat menyukai Mandar, terbukti ia tak membiarkan Mandar di eksekusi, melainkan memilihkan cara mati yang lebih baik. Demi menyelematkan korban yang di cintainya, ia merelakan dirinya meski harus mati. Ikatannya dengan Amarilislah yang menyelematkan Amarilis dari maut.

Amarilis. Tokoh Utama kedua seorang gadis yang menjadi korban Mandar. Mandar yang sadar telah melakukan kesalahan, membiarkan hidup. Perempuan tegar yang memliki keluarga yang sangat menyayanginya dan membantunya bangkit dari masa-masa traumatis. Jug atak luput dari bantuan Hilman, sang dokter. Tidak terlalu istimewa bagiku, namun ada sifat yang membuatku salut. Keteguhannya menolak bayi yang telah dilahirkannya, yang juga merupakan anak Mandar. Keputusannya melahirkan bayi itu saja sudah merupakan hal yang patut dipuji. Hubungan timbal balik yang dia sebutkan untuk menguatkan alasan melepaskan anak itu, cukup masuk akal. Ia masih tetap menolak bayi itu meski telah melihat betapa tampan dan sehatnya bayi itu. Mungkin karena ia melihat bayang-bayang Mandar. Yah.. siapa yang mau anak iblis? Ibunya saja tak menginginkannya. Namun bayi yang memiliki kelebihan menarik hati setiap ibu yang melihatnya itu, akhirnya mendapatkan orang tua yang baik. Teman Hilman, dan Hilman ingin memastikan bahwa bayi itu ada di tangan yang orang benar-benar baik agar gen jahat ayahnya tak berkembang. Sadar atau tidak, pikiran Amarilis sering terhubung dengan Mandar, walau hanya melalui mimpi-mimpi. Diakui atau tidak, mereka berdua memiliki ikatan, walau secara tak langsung dan mungkin akan berakhir, karena akhirnya Mandar mati demi menolongnya.

Hilman. Dokter, seorang psikiater. Pembawa semangat bagi Amarilis. Ayah yang sangat di sayangi dan di hormati oleh kedua anak-anaknya. Tokoh yang menjangkau semuanya. Mulai dari Amarilis, Mandar, Adrian, sampai si bayi. Merupakan penghubung antara satu dan yang lain. Itu juga yang membuatnya tampak seperti tokoh utama yang baik. Hilman memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mengendalikan keadaan, kemampuannya sebagai psikiater membuatnya menjadi orang yang dapat dipercaya. Dan pemikirannya juga menyeluruh, mengingat profesinya sebagai psikiater. Hilman adalah orang yang percaya, jika hanya Mandarlah yang bisa mengetahui di mana Amarilis. Ia percaya Mandar mempunyai telepati yang kuat terhadap Amarilis. Untuk itu ia memohon kepada Mandar untuk membantunya menemukan Amarilis.

Adrian. Sepupu Mandar, yang juga mewarisi semua kekayaan Mandar. Kegigihannya mengalahkan segala prasangka buruk kepadanya. Orang yang paling dekat dengan Mandar, dan satu-satunya penghubungnya dengan dunia luar. Melalui Adrian inilah, Mandar mengetahui ia mempunyai keturunan dari Amarilis, dan itu membuatnya senang. Sebenarnya Adrian bisa jadi orang yang paling pantas mendampingin Amarilis, namun kenapa yaa? Aku merasa dia ini terlalu sempurna. Sejak awal pengarang menceritakan segalanya yang baik tentang Adrian. Pengarang seolah ingin menjebak pembaca dengan menceritakan segala kemalangan Adrian, dan segala usaha gigihnya mendapatkan Amarilis. Juga kebaikan hatinya, yang menurutku terlalu berlebihan. Apalagi sejak semula aku tertarik dengan pengakuan Mandar, yang ia hanya membunuh 11 orang. Lalu satu mayat lagi siapa? Siapa pembunuhnya? Aku jelas percaya kepada Mandar, karena sejak semula dia jujur mengakui perbuatannya dan tak berusaha menutupi. Bahkan alasannya pun ia katakan kepada Hilman. Jika memang Mandar tak melakukan pembunuhan yang ke12, maka ada orang lain yang memanfaatkan Mandar. Lalu, siapa saja orang bisa keluar masuk rumah Mandar? Dan bukan hal yang mustahil Adrian bisa mengetahui perbuatan Mandar. Hmm, sejak semula dia memang mencurigakan. Apalagi setelah pertemuannya dengan Indri, dan mengira dia Indah. Hah! Ketemu juga celahnya... Dia penjahat sebenarnya... ketahuilah, aku tak salut sama sekali dengan Adrian...